TULISAN 2
PEREKONOMIAN INDONESIA
Disusun oleh:
KELOMPOK 9
Antonius Atmadinata 20211988
Gatot Sugara 23211016
Ilma syahida arofi 23211509
Ratu Anggun Pertiwi 25211908
Kelas 1EB25
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Tanggal
15 September 2008 menjadi catatan kelam sejarah perekonomian Amerika Serikat,
kebangkrutan Leman Brothers yang merupakan salah satu perusahaan investasi atau
bank keuangan senior dan terbesar ke 4 di Amerika serikat menjadi awal dari
drama krisis keuangan di negara yang mengagung-agungkan sistem kapitalis tanpa
batas. Siapa yang menyangka suatu negara yang merupakan tembok kapitalis dunia
akan runtuh .Celakanya apa yang terjadi di Amerika Serikat dengan cepat
menyebar dan menjalar keseluruh dunia. Hanya beberapa saat setelah informasi
runtuhnya pusat keuangan dunia di Amerika, transaksi bursa saham diberbagai
belahan dunia seperti Hongkong, China, Australia, Singapura, Korea Selatan, dan
Negara lainnya mengalami penurunan drastis, bahkan Bursa Saham Indonesia (BEI)
harus disuspend selama beberapa hari, pemerintah Indonesia pun kelihatan panik
dalam menyikapi permasalahan ini, peristiwa ini menandai fase awal dirasakannya
dampak krisis ekonomi global yang pada mulanya terjadinya di Amerika dirasakan
oleh negara Indonesia.
Dilihat
dari faktor penyebabnya, krisis Ekonomi global pada saat ini berbeda dengan
krisis ekonomi yang melanda Indonesia lebih kurang satu dasawarsa lalu, yang
mana pada saat itu krisis ekonomi yang melanda Indonesia lebih disebabkan oleh
ketidakmampuan Indonesia menyediakan alat pembayaran luar negeri, dan tidak
kokohnya struktur perekonomian Indonesia, tetapi krisis keuangan global pada
tahun 2008 ini berasal dari faktor-faktor yang terjadi di luar negeri. Tetapi
kalau kita tidak hati-hati dan waspada dalam menyikapi permasalahan ini, tidak
mustahil dampak krisis keuangan global pada tahun 2008 ini akan sama atau
bahkan lebih buruk jika dibandingkan dengan dampak dari krisis ekonomi yang
terjadi pada tahun 1998.
Perlambatan
pertumbuhan ekonomi dunia, selain menyebabkan volume perdagangan global pada
tahun 2009 merosot tajam, juga akan berdampak pada banyaknya industri besar
yang terancam bangkrut, terjadinya penurunan kapasitas produksi, dan terjadinya
lonjakan jumlah pengangguran dunia. Bagi negara-negara berkembang dan emerging
markets, situasi ini dapat merusak fundamental perekonomian, dan memicu
terjadinya krisis ekonomi.
Kekhawatiran
atas dampak negatif pelemahan ekonomi global terhadap perekonomian di
negara-negara emerging markets dan
fenomena flight to quality dari investor
global di tengah krisis keuangan dunia dewasa ini, telah memberikan
tekanan pada mata uang seluruh dunia, termasuk Indonesia dan mengeringkan
likuiditas dolar Amerika Serikat di pasar domestik banyak negara. Hal ini
menyebabkan pasar valas di negara-negara maju maupun berkembang cenderung
bergejolak di tengah ketidakpastian yang meningkat.
Sebagai
negara dengan perekonomian terbuka, meskipun Indonesia telah membangun momentum
pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, tidak akan terlepas dari dampak negatif
perlemahan ekonomi dunia tersebut. Krisis keuangan global yang mulai
berpengaruh secara signifikan dalam triwulan III tahun 2008, dan second round
effectnya akan mulai dirasakan meningkat intensitasnya pada tahun 2009,
diperkirakan akan berdampak negatif pada kinerja ekonomi makro Indonesia dalam
tahun 2009 baik di sisi neraca pembayaran dan neraca sektor riil, maupun sektor
moneter dan sektor fiskal (APBN).
Dampak
negatif yang paling cepat dirasakan sebagai akibat dari krisis perekonomian
global adalah pada sektor keuangan melalui aspek sentimen psikologis maupun
akibat merosotnya likuiditas global. Penurunan indeks harga saham di Bursa Efek
Indonesia (BEI) mencapai sekitar 50,0 persen, dan depresiasi nilai tukar rupiah
disertai dengan volatilitas yang meningkat. Sepanjang tahun 2008, nilai tukar
rupiah telah terdepresiasi sebesar 17,5 persen. Kecenderungan volatilitas nilai
tukar rupiah tersebut masih akan berlanjut hingga tahun 2009 dengan masih
berlangsungnya upaya penurunan utang (deleveraging)
dari lembaga keuangan global.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apakah yang dimasksud dengan
krisis ekonomi global?
2.
Apakah penyebab krisis ekonomi
global?
3.
Apakah dampak krisis ekonomi
global terhadap Indonesia?
4.
Bagimanakah cara mengatasi
krisis ekonomi global tersebut?
5.
Bagaimanakah Perekonomian di
Indonesia?
BAB 2
PEMBAHASAN
A. KRISIS
EKONOMI GLOBAL
Seluruh
dunia telah diliputi oleh krisis financial (krisis ekonomi
global), seluruh negara-negara di dunia baik itu negara maju maupun
negara berkembang telah terjebak dalam kesulitan yang sangat rumit. Beberapa
negara yang sebelumnya menikmati kondisi ekonomi yang kuat yang mempunyai
teknologi yang canggih dalam hal ilmu pengetahuan, pangan, senjata, obat-obatan
terlihat hancur perekonomiannnya. Fakta dari masalah tersebut adalah bahwa
ekonomi negara-negara tersebut ditopang oleh kebijakan yang sangat rapuh yang
meyebabkan collaps terkena dampak krisis ekonomi global.
Krisis
finansial global yang menyebabkan menurunnya kinerja perekonomian dunia secara
drastis pada tahun 2008 diperkirakan masih akan terus berlanjut, bahkan akan
meningkat intensitasnya pada tahun 2009. Perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia,
selain menyebabkan volume perdagangan global pada tahun 2009 merosot tajam,
juga akan berdampak pada banyaknya industri besar yang terancam bangkrut,
terjadinya penurunan kapasitas produksi, dan terjadinya lonjakan jumlah pengangguran
dunia. Bagi negara-negara berkembang dan emerging markets, situasi ini dapat
merusak fundamental perekonomian, dan memicu terjadinya krisis ekonomi.
Kekhawatiran
atas dampak negatif pelemahan ekonomi global terhadap perekonomian di
negara-negara emerging markets dan
fenomena flight to quality dari investor
global di tengah krisis keuangan dunia dewasa ini, telah memberikan
tekanan pada mata uang seluruh dunia, termasuk Indonesia dan mengeringkan
likuiditas dolar Amerika Serikat di pasar domestik banyak negara. Hal ini
menyebabkan pasar valas di negara-negara maju maupun berkembang cenderung
bergejolak di tengah ketidakpastian yang meningkat.
Sebagai
negara dengan perekonomian terbuka, meskipun Indonesia telah membangun momentum
pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, tidak akan terlepas dari dampak negatif
perlemahan ekonomi dunia tersebut. Krisis keuangan global yang mulai
berpengaruh secara signifikan dalam triwulan III tahun 2008, dan second round
effectnya akan mulai dirasakan meningkat intensitasnya pada tahun 2009,
diperkirakan akan berdampak negatif pada kinerja ekonomi makro Indonesia dalam
tahun 2009 baik di sisi neraca pembayaran dan neraca sektor riil, maupun sektor
moneter dan sektor fiskal (APBN).
Dampak
negatif yang paling cepat dirasakan sebagai akibat dari krisis perekonomian
global adalah pada sektor keuangan melalui aspek sentimen psikologis maupun
akibat merosotnya likuiditas global. Penurunan indeks harga saham di Bursa Efek
Indonesia (BEI) mencapai sekitar 50,0 persen, dan depresiasi nilai tukar rupiah
disertai dengan volatilitas yang meningkat. Sepanjang tahun 2008, nilai tukar
rupiah telah terdepresiasi sebesar 17,5 persen. Kecenderungan volatilitas nilai
tukar rupiah tersebut masih akan berlanjut hingga tahun 2009 dengan masih berlangsungnya
upaya penurunan utang (deleveraging)
dari lembaga keuangan global.
Krisis
keuangan Amerika Serikat menyebabkan masalah global keuangan dunia, untuk
mengatasi hal tersebut Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono telah mengeluarkan
sepuluh arahan:
a. semua
kalangan tetap optimis, dan bersinergi menghadapi krisis keuangan
b. tetap
pertahankan nilai pertumbuhan enam persen
c. optimalisasi
APBN 2009
d. dunia
usaha khususnya sektor riil harus tetap bergerak
e. semua
pihak agar cerdas menangkap peluang
f. galakkan
kembali penggunaan produk dalam negeri
g. tingkatkan
sikap profesionalisme
h. kerja
sama dalam menghadapi masalah
i. tidak
melakukan langkah non partisan
j. komunikasi
yang bijak.
Sementara
itu Mudrajad Kuncoro (2008) mengatakan
bahwa setidaknya ada dua langkah strategis dalam mengatasi dampak krisis
keuangan global, yaitu Demand pull strategy dan supply push
strategy. Demand pull strategy mencakup strategi perkuatan sisi
permintaan, yang bisa dilakukan dengan perbaikan iklim bisnis, fasilitasi
mendapatkan HAKI (paten), fasilitasi pemasaran domestik dan luar negeri dan
menyediakan peluang pasar. Langkah strategis lainnya adalah supply push
strategy yang mencakup strategy pendorong sisi penawaran, ini bisa dilakukan
dengan ketersediaan bahan baku, dukungan permodalan, bantuan
teknologi/mesin/alat, dan peningkatan kemampuan sumber daya manusia.
B. Penyebab
Krisis Ekonomi Global
Ditengah
dinamika ekonomi global yang terus-menerus berubah dengan akselerasi yang
semakin tinggi sebagaimana digambarkan di atas, Indonesia mengalami terpaan
badai krisis yang intensitasnya telah sampai pada keadaan yang nyaris menuju
kebangkrutan ekonomi.
Krisis ekonomi – yang dipicu
oleh krisis moneter – beberapa waktu yang lalu, paling tidak telah memberikan
indikasi yang kuat terhadap tiga hal. Pertama, kredibilitas pemerintah telah
sampai pada titik nadir. Penyebab utamanya adalah karena langkah-langkah yang
ditempuh pemerintah dalam merenspons krisis selama ini lebih bersifat
“tambal-sulam”, ad-hoc, dan cenderung menempuh jalan yang berputar-putar.
Selain
itu, seluruh sumber daya yang dimiliki negeri ini dicurahkan sepenuhnya untuk
menyelamatkan sektor modern dari titik kehancuran. Sementara itu, sektor
tradisional, sektor informal, dan ekonomi rakyat, yang juga memiliki eksistensi
di negeri ini seakan-akan dilupakan dari wacana penyelamatan perekonomian yang
tengah menggema.
Kedua,
rezim Orde Baru yang selalu mengedepankan pertumbuhan (growth) ekonomi telah
menghasilkan crony capitalism yang telah membuat struktur perekonomian menjadi
sangat rapuh terhadap gejolak-gejolak eksternal. Industri manufaktur yang
sempat dibanggakan itu ternyata sangat bergantung pada bahan baku impor dan tak
memiliki daya tahan. Sementara itu, akibat “dianak-tirikan”, sektor pertanian pun
juga tak kunjung mature sebagai penopang laju industrialisasi. Yang saat itu
terjadi adalah derap industrialisasi melalui serangkaian kebijakan yang
cenderung merugikan sektor pertanian. Akibatnya, sektor pertanian tak mampu
berkembang secara sehat dalam merespons perubahan pola konsumsi masyarakat dan
memperkuat competitive advantage produk-produk ekspor Indonesia.
Salah
satu faktor terpenting yang bisa menjelaskan kecenderungan di atas adalah
karena proses penyesuaian ekonomi dan politik (economic and political
adjustment) tidak berlangsung secara mulus dan alamiah. Soeharto-style
state-assisted capitalism nyata-nyata telah merusak dan merapuhkan tatanan
perekonomian. Memang di satu sisi pertumbuhan ekonomi yang telah dihasilkan
cukup tinggi, namun mengakibatkan ekses yang ujung-ujungnya justru counter
productive bagi pertumbuhan yang berkelanjutan.
Ketiga,
rezim yang sangat korup telah membuat sendi-sendi perekonomian mengalami
kerapuhan. Secara umum, segala bentuk korupsi akan mengakibatkan arah alokasi
sumber daya perekonomian menjurus pada kegiatan-kegiatan yang tidak produktif
dan tidak memberikan hasil optimum. Dalam kondisi seperti ini pertumbuhan
ekonomi memang sangat mungkin terus berlangsung, bahkan pada intensitas yang
relatif tinggi. Namun demikian, sampai pada batas tertentu pasti akan
mengakibatkan melemahnya basis pertumbuhan.
Selanjutnya,
praktik-praktik korupsi secara perlahan C tapi pasti C telah merusak tatanan
ekonomi dan pembusukan politik yang disebabkan oleh perilaku penguasa, elit politik,
dan jajaran birokrasi. Keadaan semakin parah ketika jajaran angkatan bersenjata
dan aparat penegak hukum pun ternyata juga turut terseret ke dalam jaringan
praktik-praktik korupsi itu.
Hancurnya
kredibilitas pemerintah yang dibarengi dengan tingginya ketidakpastian itu
telah menyebabkan terkikisnya kepercayaan (trust). Yang terjadi dewasa ini
tidak hanya sekadar pudarnya trust masyarakat terhadap pemerintah dan
sebaliknya, melainkan juga antara pihak luar negeri dengan pemerintah, serta di
antara sesama kelompok masyarakat.
Yang
terakhir disebutkan itu tercermin dengan sangat jelas dari keberingasan massa
terhadap simbol-simbol kekuasaan serta kemewahan dan terhadap kelompok etnis
Cina, seperti yang dikenal dengan peristiwa Mei 1998.
Sementara itu, krisis
kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dapat dilihat dari respons
masyarakat yang kerap kali berlawanan dengan tujuan kebijakan yang ditempuh
pemerintah. Misalnya, kebijakan pemerintah yang seharusnya berupaya menggiring
ekspektasi masyarakat ke arah kanan, justru telah menimbulkan respons
masyarakat menuju ke arah kiri, dan sebaliknya. Faktor lainnya adalah semakin
timpangnya distribusi pendapatan dan kekayaan, sehingga mengakibatkan lunturnya
solidaritas sosial.
C. Dampak
Yang Ditimbulkan Oleh Krisis Ekonomi Global
Dampak Perekonomian Global terhadap
APBNP 2008
Asumsi
inflasi dalam APBNP 2008 yang ditetapkan sebesar 6,5%, menurut Adiningsih
(Ekonom dari Universitas Gajah Mada) dalam harian Suara Karya (16/4-08), dapat
melebihi 10% akibat tekanan berat dari kondisi perekonomian global yang berada
di luar kendali pemerintah. Adiningsih mengemukakan bahwa seharusnya pemerintah
menyusun APBN secara konsevatif , karena apabila APBN dirubah terus, tentu akan
menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat. Dia juga mengungkapkan bahwa dunia
usaha juga tergantung pada pengelolaan dan realisasi APBN. Apabila APB tidak
konsisten, dipastikan dunia usaha akan sulit tumbuh, sehinga sulit diharapkan
pertumbuhan ekonomi yang tiggi. Mengenai besaran asumsi inflasi dalam APBNP,
menurutnya tidak masuk akal, karena pada akhir tahun 208 terdapat beberapa hari
raya yang sudah pasti akan memicu inflasi lebih tinggi. Disamping itu harga
minyak mentah yang masih akan melambung dan harga pangan dunia yang meroket.
Hal ini akan mempengaruhi harga komoditias di dalam negeri. Tidak semua
komoditas dapat dikendalikan oleh pemerintah. Tambahan lagi, banyak barang
impor termasuk yang illegal masuk ke ke pasar Indonesia. Hinga akhir tahun ini
diperkirakan gejolak pasar Keuangan dunia belum akan reda. Seandainya Amerika
Serikat meningkatkan suku bunga kredit, akan berdampak terhadap Indonesia dan
dikhawatirkan inflasi akan melebihi satudigit.
Dalam
menghadapi situasi perekonomian global yang tidak pasti, Raden Pardede (salah
satu calon gubernur BI yang ditolak DPR) mengemukakan pendapatnya bahwa
pemerintah harus membatasi besaran anggaran untuk subsidi. Menurutnya, dengan
asumsi harga minyak mentah sebesar US$ 95 per barel, total subsidi mencapai
sekitar Rp 33 triliun. Jika harga minyak ternyata lebih dri U$$ 100 per barel,
diperkirakan lebih dari 30% anggaran belanja habis untuk subsidi, bagaimana
dengan sektro yang lain, katanya.
Berkaitan
dengan kekurangan dana dalam APBN pasti dicarikan melalui pembiayaan yang salah
satunya adalah dengan penerbitan Suat Utang Negara (SUN) disesuaikan dengan
melihat kemampuan pasar untuk menyerapnya. Tetapi, jika subsidi tidak dibatasi,
investor akan khawatir mengnenai kemampuan negara dalam melakukan pembayaran.
Hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian dan rendahnya daya serap SUN.
Pendapat
dari kedua pengamat ekonomi tersebut perlu diperhatikan sebagai informasi untuk
mewaspadai bahwa kondisi perkonomian dunia yang saat ini sedang bergolak penuh
ketidak pastian akan berdampak terhadap tingkat inflasi, alokasi anggaran untuk
subsidi dan daya serap SUN untuk pembiayaan deficit APBN. Namun demikian,
apabila dalam perjalanannya asumsi-asumsi dalam APBNP 2008 meleset jauh dari
kenyataan, pengamat ekonomi tidak seharusnya semata-mata menyalahkan
pemerintah, karena APBN-P 2008 tersebut merupakan hasil pembahasan dan
kesepakatan antara pemerintah dengan DPR. Tambahan lagi, jika asumsi dalam
APBNP tidak sesuai lagi dengan perkembangan kondisi perekonomian, mau tidak mau
APBNP 2008 harus direvisi kembali.
D. Cara
Mengatasi Krisis Ekonomi Global
Mengatasi
Penyebab dan Dampak Krisis Ekonomi Global masih menjadi berita hangat tanpa
melewati satu hari pun dalam bulan-bulan terakhir ini. Berbicara krisis
ekonomi adalah bukan berbicara tentang nasib satu orang bahkan lebih dari itu
semua karena ini menyangkut nasib sebuah bangsa. Berbagai argument dan komentar
pun dilontarkan di berbagai media yang selalu memojokkan pemerintahan Yudhoyono
dan BI (Bank Indonesia) Di salah satu media menyatakan bahwa Presiden Yudhoyono
menyampaikan 10 langkah untuk menghadapi masalah tersebut. Empat di antaranya :
1.
Meningkatkan penggunaan
produksi dalam negeri
2.
Memanfaatkan peluang
perdagangan internasional
3.
Menyatukan langkah strategis
Pemerintah dengan Bank Indonesia (BI)
4.
Menghindari politik non
partisan untuk menghadapi krisis.
Kedengarannya
memang masuk akal tapi untuk menghadapi krisis itu
bukanlah semata adalah tugas pemerintah dan Bank Indonesia tapi badai krisis
ini perlu dihadapi bersama jangan sampai kejadian Krisis Ekonomi Global Part II
ini lebih dahsyat meluluh-lantakkan Perekonomian Indonesia seperti yang telah
terladi pada Badai Krisis Moneter Part I di Era Soeharto.
Sadar
atau pun tidak sadar Akibat Krisis Ekonomi Global kali in sudah sangat jauh
merambah dalam berbagai strata masyarakat. Dimana-mana pengangguran semakin
bertambah Income perkapita drastis menurun karena beberapa industri mulai
merampingkan tenaga-kerja atau mulai meliburkan tenaga kerja tanpa batas waktu.
Senada dengan hal itu investor-investor lokal dan Asing pun mulai menarik
saham dalam industri-industri di Indonesia. Dari kejadian kejadian itu akan
menjadikan peluang untuk Angka Kriminalitas akan melonjak naik Grafiknya di
tanah air belum lagi kasus-kasus korupsi terbaikan karena bangsa ini telah
disibukkan dengan masalah yang lebih di prioritaskan sehingga dengan bebasnya
para koruptor meneruskan aksinya ditiap jenjang. “Selamat buat para koruptor
Anda bisa keluar dari persembunyain untuk sementara Waktu”.
Memang
sangat ironis di satu sisi Indonesia yang dikenal sebagai negara Agraris tapi
disisi lain beberapa item bahan pokok masih mengandalkan hasil import dari
negara tetangga. Yah ini mungkin salah satu kelemahan dari bangsa kita bahkan
diri kita yang sebagai rakyat yang kurang berusaha secara profesional dalam
mengelola asset-asset yang ada dalam lahan-lahan indonesia. Lihat saja kekayaan
Alam Indonesia mulai dari hasil laut belum dapat dikelola dengan baik karena
Fasilitas-fasilitas nelayan kurang memadai sehingga negara-negara lain meraup
keuntungan dari hasil menangkap hasil laut dengan cara yang tidak fair.
Belum
lagi persediaan minyak yang semakin lama semakin menipis serta Tambang-tambang
Emas yang masih dikuasai negara asing. Jadi sangat disayangkan Punya Harta yang
sangat berlimpah ruah tapi tidak dapat dinikmati secara maksimal oleh bangsa
ini.
Jadi
memanglah pas ketika Ketua Presidium Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa
Nasional Indonesia (GMNI ) menyatakan bahwa Krisis ekonomi global telah
terjebak pada sistem kapitalisme internasional sehingga sampai saat ini
sepertinya tak ada persiapan jelas menghadapi krisis keuangan global yang
berawal dari runtuhnya industri keuangan di Amerika Serikat. Mereka yang krisis
kita yang “hancur-hancuran” seperti pada bursa saham sehingga menghentikan
operasionalnya.
Dan
kesimpulannya Indonesia belum siap menghadapi Dampak Krisis Ekonomi Global yang
di motori oleh Negara Super itu. Mungkin dari beberapa uraian diatas dapat
memberi gambaran bahwa kita punya potensi menghadapi krisis ini jika kita
meningkatkan kesadaran sebagai masyarakat indonesia termasuk element pemerintah
berikut departement terkait untuk meningkat pengelolaan sumber daya
secara profesional sehingga
bangsa ini menjadi produktif dalam penyediaan hasil bumi dan dapat mandiri
serta terbebas sebagai negara importir bahan pangan dan minyak bumi terbesar
yang akan membalikkan keadaan menjadi negara “Pengekspor Terbesar”.
E. Indonesia
dan Perekonomian
1.
Ekonomi Indonesia
Thomas R.
Rumbaugh, Division Chief IMF untuk kawasan Asia Pasifik, mengatakan performa
ekonomi RI selama kuartal 1/2009 dengan catatan laju PDB sebesar 4,4%, menjadi
salah satu pertanda kuatnya perekonomian Indonesia dalam situasi krisis. Beliau
mengungkapkan bahwa, dengan melihat itu, revisi ke atas proyeksi laju ekonomi
Indonesia, sekarang laju PDB dapat tumbuh pada kisaran 3%-4% tahun ini.
Dalam
laporan World Economic Outlook yang dirilis dana moneter Internasional itu pada
April, pertumbuhan ekonomi Indonesia 2009 diproyeksikan 2,5%, terendah
dibandingkan dengan proyeksi lembaga penelitian dan multilateral lain. Adapun
pemerintah Indonesia mematok proyeksi PDB tahun ini pada kisaran 4%-4,5%. Menurut
Rumbaugh, proyeksi baru IMF dibuat dalam kisaran karena masih ada
ketidakpastian dalam situasi perekonomian dunia.
Meski
begitu, dana moneter yang berbasis di Washington DC itu memperkirakan tekanan
inflasi 2009 di Indonesia akan terus moderat ke angka sekitar 5%. Di tengah
krisis ekonomi dunia, pemerintah dan bank sentral dinilai telah cukup berhasil
dalam melakukan langkah antisipasi dibandingkan dengan Negara-negara lain.
Dari sisi
kebijakan moneter dan nilai tukar, IMF menilai pemangkasan BI Rate 250 basis
poin sejak Desember 2008 sebagai langkah yang tepat. Akan tetapi, dari sisi
fiskal dia mengingatkan pentingnya pemerintah menggenjot penyerapan belanja
langsung stimulus fiskal pada periode semester II/2009. Pasalnya, kinerja
ekonomi kuartal I yang cukup baik lebih didukung oleh faktor stimulus
pemotongan pajak yang telah terserap dan juga pemilu legislatif.
Syahrial Loetan, sekretaris
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Sestama Bappenas, menilai revisi
proyeksi laju PDB Indonesia oleh IMF menjadi lebih baik merupakan pertanda
lembaga itu menyadari kesalahan proyeksi sebelumnya.
Penguatan
arus dan masuk ke pasar modal ikut mengerek nilai tukar rupiah hingga menembus
level Rp9.000 atau menguat 21,5% dari posisi tertinggi pada November 2008 yang
mencapai Rp12.650 per dolar AS.
Penggerakan rupiah untuk
pertama kalinya sejak perdagangan Oktober 2008 terapresiasi melampaui Rp10.000
setelah IHSG menguat 8 hari berturut-turut ke level 2.078,93, atau mencetak
rekor kenaikan simultan terpanjang sejak periode bullish 2007.
Indeks secara kumulatif
mengumpulkan 187,96 poin atau naik 9,94% dalam 6 hari terakhir, kenaikan itu
lebih tinggi dari rally simultan
terpanjang 29 Juni-10 Juli pada 2 tahun lalu sebesar 143,1 poin (6,7%).
2.
Ekonomi Indonesia dan Demokrasi
Indonesia
saat ini, tulis Boediono, masih berada pada zona resiko tinggi untuk kehidupan
demokrasi. Hal ini terlihat dari segi pendapatan per kapitanya yang masih
kurang mendukung terselenggaranya demokrasi secara baik. Dengan pendapatan per
kapita sekitar US$3.987 (International Monetary Fund, 2008) GDP Purshasing
Power Parity (PPP) per kapita Indonesia masih berada bahkan di bawah
negara-negara seperti Vanuatu dan Fiji, Indonesia masih berada di zona rawan
dalam demokrasik. Kenapa? Menurut penelitian, batas kritis bagi kelangsungan
demokrasi di dunia adalah apabila pendapatan per kapita sebuah Negara mencapai
US$6.600.
Dari sebuah studi ekonomi dan
demokrasi, tercatat bahwa pada kurun 1950-1990, rezim demokrasi di
Negara-negara dengan penghasilan per kapita US$1.500 (dihitung berdasarkan PPP
tahun 2001) hanya mempunyai harapan hidup 8 tahun. Pada tingkat penghasilan per
kapita US$1.500-US$3.000, rezim demokrasi dapat bertahan rata-rata 18 tahun dan
pada tingkat pendapatan per kapita di atas US$6.000, daya hidup system
demokrasi di sebuah Negara jauh lebih besar dan probabilitas kegagalannya hanya
1:500.
Posisi Indonesia
Dengan
pendapatan per kapita Indonesia yang diperkirakan sekitar US$4.000, dimana
batas krisis bagi demokrasi sekitar US$6.600, maka Indonesia belum mencapai 2/3
jalan menuju batasan bagi demokrasi.
Oleh
karena itu, menurut Boediono, pada tahap awal kehidupan demokrasi, Indonesia
sebaiknya memberikan prioritas tertinggi bagi upaya memacu pertumbuhan ekonomi
dan sejauh mungkin menghindari krisis.
Hal ini
akan sangat mengurangi resiko kegagalan demokrasi. Hal terbaik yang harus
dilakukan, kata Boediono, adalah secepatnya membangun perekonomian agar income
per kapita bangsa Indonesia mencapai batas aman bagi pemerintah demokrasi,
yaitu US$6.600.
Menurut Boediono, pertumbuhan
ekonomi akan membantu tumbuhnya kelompok pembaharu dengan catatan: pertama,
pertumbuhan itu menyentuh dan broad-based; dan kedua prosesnya mengandalkan
kegiatan berdasarkan hasil kerja, inisiatif, dan kekuatan sumber daya manusia bukan
dengan penjualan kekayaan alam, utang luar negeri, dan lainnya.
3.
Indonesia Cepat Lalui Krisis
Menurut
Institute for Management Development (IMD), lembaga think
thank dan pendidikan yang berpusat di Swiss, Indonesia seperti
Negara-negara lain di Asia Tenggara, memiliki daya tahan yang cukup baik.
Indonesia juga dianggap memiliki kemampuan untuk pulih dengan cepat karena
telah mengalami krisis keuangan cukup parah pada 1997/1998 sehingga lebih baik
dalam mengantisipasi krisis saat ini.
IMD mengatakan
bahwa, Negara-negara seperti itu seringkali mampu untuk beradaptasi dan pulih
pada masa sulit. Penjelasan lain adalah karena mereka telah mengalami krisis
keuangan cukup parah dan krisis properti satu decade lalu dan jadi lebih
waspada dalam kebijakannya.
Stress test versi
IMD merupakan analisis untuk mengukur sejauh mana Negara dapat melalui krisis
dan memperbaiki daya saingnya pada masa depan. Analisis dengan cakupan survey
57 negara itu mengambil Indikator proyeksi ekonomi, pemerintah, bisnis, dan
masyarakat sebagai basis penilaiannya. Dari empat faktor yang dinilai
dalam stress test, daya tahan Indonesia untuk
indikator pemerintah berada di peringkat-26. Adapun indikator lain seperti
proyeksi ekonomi, bisnis dan masyarakat, masing-masing masuk ke posisi 33,36,
dan 33.
Mentri
Koordinator bidang Perekonomian Sri Mulyani Indrawati optimis peringkat stress
test Indonesia akan lebih baik pada tahun depan karena survey IMD
dilakukan terhadap indicator ekonomi sepanjang 2008, ketika negeri ini masih diliputi
dampak krisis cukup parah. Kenyataannya, katanya, kinerja perekonomian pada
kuartal I/2009 dan proyeksi ekonomi RI sepanjang tahun ini lebih baik
dibandingkan dengan Megara-negara lain.
Perekonomian
Indonesia pada kuartal II/2009 diproyeksi sedikit melambat dibandingkan dengan
kuartal sebelumnya, kendati secara tahunan diyakini masih akan tumbuh 4%.
Direktur Perencanaan Makro Kemeneg PPN/Kepala Bappenas Bambang Prijambodo
secara pribadi meyakini pertumbuhan ekonomi pada kuartal II/2009 masih akan positif
meski tidak sebesar realisasi kuartal I/2009 yang mencapai 1,6%. Secara tahunan
(year-on-year) juga demikian, dibandingkan
dengan pertumbuhan ekonomi kuartal I/2009 yang sebesar 4,4%, kemungkinan
realisasi pada kuartal II/2009 lebih rendah di kisaran 4,4%. Konsumsi
masyarakat masih akan menjadi pendorong utama dari pertumbuhan ekonomi kuartal
II/2009 yang masih terjaga dengan adanya laksana pemilihan umum. Ekonom Indef
Ikhsan Modjo, mengatakan pertumbuhan ekonomi kuartal II/2009 kemungkinan akan
turun sedikit karena ekspor dan investasi masih lemah.
4.
Kebijakan Moneter Belum Cukup
Longgar
Seiring
dengan semakin terkendalinya tekanan inflasi, BI sudah menurunkan bunga
acuannya dengan agresif. Pada November 2008, suku bungan acuan BI masih di
level 9,5 persen. Bulan Juni ini suku bunga acuan BI sudah turun ke 7 persen.
Ini adalah level terendah dalam sejarah suku bunga acuan BI. Sudah barang tentu
langkah BI menurunkan suku bunga dengan agresif tersebut disambut baik oleh
banyak pihak. Penurunan suku bunga acuan BI diperkirakan akan diikuti oleh
bunga-bunga yang lain, termasuk bunga pinjaman. Namun, harapan itu tak kunjung
terwujud. Banyak kalangan yang merasa kecewa melihat kenyataan yang ada. Suku
bunga pinjaman tidak turun secepat yang diharapkan.
Dengan
suku bunga acuan BI pada level 7 persen, seharusnya suku bunga pinjaman berada
pada kisaran 11,9-12 persen. Angka suku bunga pinjaman itu dihitung berdasarkan
respons sistem perbankan negeri ini terhadap kebijakan moneter BI periode
2006-2008. Saat ini bunga pinjaman masih ada yang bertahan di atas 16 persen.
Dampak
dari belum turunnya bunga pinjaman secara signifikan, sector riil kita menjerit
meminta suku bunga pinjaman diturunkan dengan segera. Memang bunga yang tinggi
membuat biaya bunga (cost of capital)
menjadi tinggi. Hal ini juga membuat produk domestic sulit bersaing dengan
produk Negara-negara lain yang bunga pinjamannya jauh lebih rendah dari bunga
pinjaman disini. Daya saing produk kita pun tergerus dan sector manufaktur kita
menjadi sulit untuk tumbuh lebih cepat.
Di
Indonesia, misalnya, BI mengurangi monetary base dengan
cara menerbitkan sertifikat Bank Indonesia (SBI). Penerbitan SBI akan
mengurangi uang dari system perekonomian kita karena bank yang membeli SBI akan
menyetorkan uang ke BI sebesar SBI yang dibelinya. Uang yang diterima BI
tersebut akan disimpan di BI sehingga ada uang yang menjadi tidak dapat
digunakan oleh perbankan kita. Suplai uang di system financial kita pun menjadi
berkurang.
Bila dilihat dari suku bunga
saja, BI memang tampak agresif melonggarkan kebijakan moneternya. Namun, kalau
dilihat dari sisi suplai uang, kebijakan moneter BI sebenarya masih kurang
ekspansif. Hal itu diperlihatkan dari monetary
base yang tidak tumbuh, bahkan pertumbuhannya negative dalam
beberapa bulan terakhir ini. Itu berarti BI tidak memompa cukup uang ke system
agar suplai uang meningkat.
Salah
satu penyebab terjadinya pertumbuhan monetary
base negative adalah terjadinya arus modal keluar pada Oktober
2008 yang menyebabkan rupiah melemah secara signifikan waktu itu. Tampaknya BI
melakukan intervensi dengan menjual dollarnya atau menyerap rupiah dari pasar.
Hal ini mengakibatkan berkurangnya suplai uang di system finansial kita.
Kenaikan itu diperburuk pula oleh kenaikan SBI outstanding (total
jumlah SBI yang ada) sejak Oktober 2008, yang berarti BI menarik likuiditas
dari system finansial kita lebih banyak lagi.
SBI outstanding terus
mengalami kenaikan sejak saat itu. Pada September 2008 SBI outstanding berjumlah
sekitar Rp 116 Triliun. Pada Juni 2009, SBI outstanding sudah
naik menjadi sekitar Rp. 239 triliun. Pada saat bersamaan, keterlambatan
realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) juga turut memperburuk
keadaan. Akibatnya, pendapatan pemerintah dari pajak ataupun dari surat utang
Negara (SUN) tertahan di BI.
Pada
Januari 2009 jumlah uang pemerintah di rekening pemerintah di BI Rp. 104
triliun. Jumlah ini meningkat menjadi Rp. 187 triliun yang ditarik keluar dari
system finansial kita pada periode tersebut.
5.
Sektor Perbankan
Direktur
Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia Halim Alamsyah
mengatakan angka sementara kredit bulan kelima tahun ini menunjukkan
tanda-tanda kenaikan walaupun belum secepat tahun lalu. Berdasarkan
catatan bisnis, Halim pernah menyampaikan
pertumbuhan kredit dalam 4 bulan pertama tahun ini hanya naik Rp.5 triliun.
Artinya dalam sebulan realisasi kredit perbankan rata-rata hanya naik Rp. 1,25
triliun.
Dengan realisasi kredit Mei
sebesar Rp.3 triliun berarti ada peningkatan hamper tiga kali lipat
dibandingkan dengan rata-rata 4 bulan sebelumnya, sehingga pembiayaan perbankan
dalam 5 bulan ini tumbuh sekitar Rp. 8 triliun.
Total
kredit perbankan hingga Mei menjadi Rp. 1.361,6 triliun—termasuk pembiayaan
penerusan. Namun, angka itu masih tercatat menurun jika dibandingkan dengan
posisi November 2008 yang pernah mencapai titik puncak sebesar Rp. 1.371,9
triliun.
Halim
menyampaikan kondisi likuiditas perbankan masih belum banyak berubah
dibandingkan dengan posisi April, tapi secara tahunan dana pihak ketiga masih
tumbuh 17%-18%.
Dengan pertumbuhan sebesar 18% apabila dibandingkan dengan posisi Mei 2008 sebesar Rp. 1.505,6 triliun, dana pihak ketiga perbankan saat ini menjadi Rp. 1.776,6 triliun. Namun angka itu menyusut jika dibandingkan Maret 2008 yang sebesar Rp. 1.786 triliun.
Dengan pertumbuhan sebesar 18% apabila dibandingkan dengan posisi Mei 2008 sebesar Rp. 1.505,6 triliun, dana pihak ketiga perbankan saat ini menjadi Rp. 1.776,6 triliun. Namun angka itu menyusut jika dibandingkan Maret 2008 yang sebesar Rp. 1.786 triliun.
6.
Rasio Utang RI Turun 30%
Pada 1999
rasio utang Indonesia 100% karena saat itu pemerintah harus mengeluarkan surat
utang baru sekitar Rp. 600 triliun untuk menyelamatkan perbankan nasional.
Setelah itu rasio terus menurun. Menkeu mengatakan bahwa, semua pemerintahan,
mulai dari Presiden Habibi, Gusdur, Ibu Megawati, hingga sekarang memiliki
kebijakan yang sama, menurunkan rasio utang-utang.
Tahun
2003, rasio utang Indonesia terhadap PDB 61%, memasuki 2008 menjadi 33%
terhadap PDB, dan tahun ini pemerintah berniat menurunkan menjadi 32%. Total
utang pemerintah Indonesia saat ini hingga 29 Mei 2009 mencapai Rp. 1.700
triliun, yakni pinjaman luar negeri Rp. 732 triliun dan surat berharga Negara
(SBN) Rp. 968 triliun, yaitu pinjaman luar negeri Rp. 730 triliun dan SBN Rp.
906 triliun.
Menurut kepala Devisi Advokasi
dan Jaringan dari Forum Lembaga Swadaya Masyarakat Internasional di Indonesia, “Wahyu
Susilo”.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sosok
kerajaan bisnis yang dibangun di atas fondasi semu dan tumpukan utang, menjadi
tidak berdaya menghadapi krisis ekonomi. Sampai titik ini pun, pemerintah
nampaknya belum juga bangkit kesadarannya, bahwa menyelamatkan sektor modern
dengan cara “habis-habisan” (all out dan at all cost) seperti yang terus
dilakukan selama ini mengandung konsekuensi yang teramat riskan. Pemerintah
masih terobsesi dan selalu disugesti seakan-akan hanya dengan sektor modern
itulah bangsa berdaulat ini dapat kembali bangkit dari keterpurukannya.
Di luar
semua itu, sesungguhnya terdapat kekuatan yang luar biasa yang justru telah
menyelamatkan negeri ini dari kebangkrutannya, yaitu ekonomi rakyat. Di atas
kertas, perekonomian bangsa ini seharusnya sudah “gulung tikar” sejak
angka-angka statistik ekonomi pada periode krisis (1997-1999) menunjukkan
kecenderungan yang terus memburuk. Nyatanya, kondisi “sekarat” itu hanya
terjadi pada sektor-sektor yang memang mampu tercatat dan terefleksikan dalam
angka-angka statistik itu. Di luar angka-angka itu, yang tidak mampu dicatat
oleh sistem statistik yang ada, sesungguhnya masih menyimpan potensi, kekuatan,
dan daya tahan yang sangat besar.
Akankah
pemerintah masih terus-menerus menutup mata terhadap eksistensi ekonomi rakyat?
Atau akan terus-menerus meyakini wacana yang selalu digembar-gemborkan oleh
para ekonom Neo Klasik bahwa pertumbuhan yang terjadi saat ini adalah karena
sumbangan konsumsi (driven consumption) orang-orang berduit? Kiranya sejarah
telah membuktikan, bahwa memuja dan memanjakan sektor modern secara
“membabi-buta” hanya akan menghasilkan konklusi akhir yang menyedihkan, yang
rasa pahitnya tidak hanya dikecap oleh sekelompok orang, tetapi seluruh
komponen bangsa ini akan turut merasakannya.
Bila
bangsa ini cukup cerdas untuk menterjemahkan hikmah krisis ekonomi, secara
tidak langsung (blessing in disguise) seharusnya peristiwa menyakitkan ini
justru dapat menjadi pelajaran yang dipetik hikmahnya. Kesimpulannya,
pengabaian (ignoring) eksistensi ekonomi rakyat dan sektor tradisional sudah
tiba saatnya untuk segera dihentikan.
3.2 DAFTAR
PUSTAKA
Bisnis Indonesia, 17 Juni 2009 hal 7, “Boediono, demokrasi, dan
ekonomi”
Bisnis Indonesia, 6 Juni 2009 hal 1, “IMF: Ekonomi RI membaik”
Bisnis Indonesia, 6 Juni 2009 hal 1, “Rupiah Tembus Level
9.000/US$”
Bisinis Indonesia, 8 Juni 2009 hal 2, “Indonesia Cepat Lalui
Krisis”
Kompas, 15 Juni 2009 hal 21, “Kebijakan Moneter Belum Cukup
Longgar”
Bisnis Indonesia, 3 Juni 2009 hal 4, “Kredit Mulai Tumbuh”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar